Doktrin wahdat
al-wujud adalah doktrin yang fundamental dalam dunia tasawuf atau
irfan (
Islamic Mysticism), yang juga menjadi isu yang besar di kalangan
para mistikus Islam dan mistikus non-Islam. Dan doktrin ini semakin menemukan
bentuknya secara sistematis dalam irfan Ibnu Arabi.
Seperti yang telah
dijelaskan dalam paragraf-paragraf sebelumnya bahwa yang real hanyalah Allah;
Yang azali dan abadi; wujud yang tunggal hanyalah milik Allah. Alam adalah
wujud yang tidak mandiri.
Wujud hakiki, meskipun tunggal tapi memiliki
beragam manifestasi. Jadi tidak ada dualitas wujud yaitu antara wujud
Khaliq (pencipta) dan wujud makhluk (yang dicipta), tapi keduanya adalah
satu wujud. Dengan kata lain wujud yang Hak itu kadang-kadang termanifestasi
dalam wujud makhluk dengan menurunkan level dirinya dalam level wujud
makhluk.
Ibnu Arabi menuturkan: Apa yang kita katakan tentang-Nya pada
hakikatnya adalah berbicara tentang sifat dan tentang diri-Nya, sebab
eksistensi kita adalah eksistensi diri-Nya. Kita sangat memerlukan diri-Nya agar
bisa eksis dan Ia juga memerlukan diri kita untuk melakukan
tajali-Nya.
Dalam pandangan Ibnu Arabi, Allah dan makhluk adalah satu
dan satu sama lain saling membutuhkan, jadi makhluk adalah dirimu dan sifat
al-Hak, hanya saja wujud hubungan keberadaan terhadap Allah adalah hubungan
real (hakiki) dan yang lain hanyalah hubungan metaforis (majazi).
Dalam
kitab
Futuhat al-Makkiyah, di bab
hayrah insan (ketakjuban seorang
manusia), Ibnu Arabi mengatakan demikian, bahwa perbedaan antara
hayrah
seorang
ahlullah (orang-orang Allah) dan
ahlinazar (pemilik akal)
adalah demikan:
Ahlnazar (pemilik akal) mengatakan: Dalam
segala sesuatu ada tanda yang menunjukan bahwa Dia adalah satu, namun bagi
yang memahami hakikat tajali akan mengatakan bahwa, di dalam segala sesuatu
ada ayat yang menunjukkan bahwa segala sesuatu itu adalah Dirinya sendiri
(
aynuhu). Tidak ada yang wujud, selain Allah, Allah adalah dirinya
sendiri. Tidak dikenal seseorang atau yang hakikat lain selain diri-Nya, itulah
seperti yang diucapkan oleh Bayazid : Aku adalah Allah atau
subhanî [ Pernyataan
Ibnu Arabi yang kontrovesial dan memicu kritikan yang keras dari kaum teolog
adalah bait-bait di bawah ini yang ditulis dalam Futuhat:
Maha suci yang
menampakan segala sesuatu yang juga diri-Nya. Aku tidak melihat selain diri-Nya
dan telingaku tidak mendengar selain kata-kata-Nya, wujud segala sesuatu dalam
diri-Nya (immanen) dan setiap orang masih tenggelam dalam
mimpinya. Wahdat al-wujud dalam Pemikiran Ibnu Arabi adalah
bahwa wujud di alam
musyahada (alam dunia) adalah tajali diri-Nya. Aku
merindukan semua alam sebab semuanya dari diri-Nya atau semua alam adalah
diri-Nya.
Syaikh Mahmud Syabistari seorang arif di abad ke-6 mengatakan
demikian: “Al-Haq yang mulia tidak memiliki dualitas. Di dalam wujud, tidak
ada kami dan aku. Di
sana kami dan engkau adalah
satu. Dalam
wahdat tidak ada
tamyiz (distingsi); tidak ada
perbedaan (differentiation); (yang ada adalah) kemanunggalan antara Wajah
al-Baqi (yang Abadi) dan ghaeru halik (tidak binasa); kemanunggalan
sair (lintasan)
, salik (pejalan) dan
suluk
(perjalanan).
Imam Ghazali mengatakan bahwa para urafa melesakkan
dirinya terbang dari batasan-batasan metaforis ke puncak hakikat dan
menyempurnakan dirinya dalam mikraj dengan melihat hakikat diri-Nya. Di istana
eksistensi tidak ada yang real selain Tuhan. Segala sesuatu binasa (fana) di
dalam diri-Nya, tidak hanya dalam satu fase zaman bahkan di awal (azali) di
tahap akhir (abadi). Segala sesuatu memiliki dua wajah, satu wajah mengarah
pada dirinya dan satu wajah lagi menuju tuhannya. Wajah yang pertama di lihat
dari perspektif yang real adalah ketiadaan (
‘adam) dan yang lain adalah
keberadaan (wujud).
Pada akhirnya, tidak ada yang wujud selain tuhan.
Kullu Syaii halikun illa wajhahu; Segala sesuatu fana di dalam diri-Nya
yang azali dan abadi.
Lantaran itu, para urafa tidak lagi menanti-nanti
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
liman al-mulk yawma lilahil wahidil
qahhar (Siapakah yang memiliki kerajaan hari ini? Untuk Allah yang Maha
Esa dan Mahakuasa) Semuanya adalah milik Allah yang Mahatunggal dan Yang
Mahaberkuasa. Lisan mereka senantiasa basah dengan ucapan-ucapan seperti itu
hingga hari kiamat.
Mereka tidak menafsirkan Allah Akbar dengan Allah
Yang Mahabesar dari yang lain, sebab tidak ada tempat bagi yang lain. Non tuhan
sampai kapanpun tidak akan meraih martabat dan sederetan dengan al-Hak (
the
Truth).
Untuk diingat bahwa terma
ashalatu wujud (kehakikan
wujud) tidak tercatat di dalam tulisan-tulisan Ibnu Arabi. Istilah-istilah
ashalatul wujud di zamannya masih belum populer. Istilah itu dipopulerkan
para pensyarah karya-karya Ibnu Arabi (baca: Mulla
Shadra).
Argumen-argumen Wahdatul Wujud
Arif dan filosof sekaliber Mulla Shadra dan yang lainnya menyampaikan
argumen-argumen filsafat untuk membela
wahdat al-wujud lewat kaidah
ashalatul wujud dan musytarak maknawi (ekuivokal).
Dalam teori
isytirak
maknawi yang wujud itu adalah hakikat yang tunggal, esa, sebab tidak
mungkin kata tunggal diabstraksikan (
intiza’) dari hakikat yang
berbeda-beda satu sama lain (jadi harus satu hakikat). Kaidah ‘
basithul
hakikat kulla asyya’ (the simplicity of everything) simplisitas atau
ketidaktersusunan hakikat segala sesuatu.
Dzat yang
basith (simple,
tunggal) jika tidak meliputi segala sesuatu akan tersusun dari beberapa elemen
(
tarkibi) baik ia bersifat material atau non-material; jadi wujud
mutlak adalah kesempurnaan (
kamal) segala sesuatu dengan modus
inbisâth (mengalir dalam yang lain).
[6]Argumen-argumen
yang anti terhadap Doktrin Wahdatul Wujud Sebagian fukaha dan teolog
baik dari mazhab Syiah atau Sunni atau Kristen mengkritik doktrin tersebut ,
bahkan sebagian mengkafirkan para pendukung doktrin ini. Karena bertentangan
dengan keyakinan mainstream umat Islam. Seperti dengan kalimat
la ilaha
illah, yaitu syiar islam yang pertama.
Syiar para pembela
wahdatul
wujud adalah :
La wujud illa Allah, yaitu bahwa segala yang ada baik
itu berhala atau sembahan lain juga adalah Tuhan. Sementara kalimat
la ila
illah mengatakan bahwa selain tuhan seperti berhala dsb tidak boleh
disembah. Sembahan-sembahan lain tidak layak dijadikan tuhan.
Mereka juga
menyerang doktrin para urafa yaitu ‘Maha suci Allah yang bertajali dalam
segala sesuatu dan itu juga adalah hakikat diri-Nya.’ Karena dengan pernyataan
tersebut menurut mereka berarti menyamakan Tuhan dengan benda-benda yang kotor
dan najis, dan kata-kata ini jelas bentuk lain dari kekafiran.
Tentu saja
para urafa juga dalam hal ini memiliki kekurangan yaitu tidak fasih dalam
mengartikulasikan doktrin-doktrin utama mereka atau mungkin saja para
pengkritiknya tidak bisa memahami dengan tepat terhadap maksud mereka. Dari
sinilah timbul polemik yang melahirkan
trend permusuhan terhadap para
urafa termasuk Ibnu Arabi .
Teori
wahdat al-wujud adalah teori
yang komplek, tidak sederhana dan tidak mudah dicerna secara sambil lalu dan
tidak setiap orang memiliki kemampuan untuk bisa menjelaskan hal ini secara
benderang.
Namun, di tangan Mulla Shadra doktrin ini bisa diuraikan dengan
begitu ilmiah. Ia memiliki kemampuan luar biasa dalam menguraian secara
rasional sekaligus memetakan kesalahfahaman atas doktrin tersebut.
Ia
menjelaskan tentang konsep
saryan (
flux, mengalir terus-menerus)
wujud dalam wujud yang
muta’ayyin (
entified) dan wujud spesifik
sebagai berikut:
“Ketahuilah bahwa segala sesuatu dalam dalam
realitasnya terdiri dari beberapa tingkatan.
Tingkatan pertama, yaitu wujud
yang mutlak , tidak terikat, tidak terkondisikan, dan tidak memiliki
batasan-batasan dengan batasan apapun (
infinite); Yang disebut sebagai
huwiyah gaybah atau
gaib mutlak;
Dzat Ahadiyah, pada
tingkatan ini tidak ada nama dan tidak ada sifat. Dan tidak ada akses makrifat
ke atas-Nya.
Tingkatan kedua, yaitu wujud yang memiliki relasi dengan
yang lain yang diistilahkan dengan wujud
muqayyad; yang memiliki
hukum-hukum, tipologi, yaitu wujud-wujud intelek, nufus (souls),
aflak
(celelstial body), unsur-unsur dan tarkib-tarkib, seperti insan, hewan-hewan
dan tumbuh-tumbuhan dan entitas-entitas lainnya.
Tingkatan ketiga,
yaitu wujud
munbasith yang memiliki kemutlakan tapi tidak seperti
keumuman kulli (universal), namun dalam format lain, karena wujudnya adalah
tahasul (proses/peraihan) dan potensi, maka ia termasuk
kulli thabi’i
(universal natural
) atau
kuli ‘aqli (universal rasional).
Statusnya masih
mubham (samar). Untuk memperoleh status wujudnya ia
memerlukan elemen yang lain.
Unitas wujud
munbasith tidak dalam
bentuk bilangan sebab wujud
munbasith adalah hakikat yang satu; yang
(
ekstended/mumtad/mengalir) pada entitas-entitas kontingen, Hakikat ini
adalah asal dunia, falak kehidupan,
Arsy ar-Rahman,
al-Haq makhluk
bihi atau
hakikat al-haqâiq dalam lisan para sufi.
[7] Dengan
analisa di atas, jadi yang dimaksud dengan
al-Haq;
wajibul wujud
(Wujud Wajib) dalam bahasa para urafa yaitu wujud di tingkatan pertama; yaitu
hakikat bi syarti la syai’ (hakikat yang tidak disyaratkan dengan
apapun/Hakikat mutlak) sebab kalau bukan pada tingkatan pertama bisa melahirkan
tuduhan-tuduhan yang kontroversial dan memang sesat bagi mazhab mana saja yang
memiliki prinsip demikian dan dianggap sedang mempromosikan keyakinan panteisme
(
hulul).
Mulla Shadra di dalam bab
Wahmun wa Tanbih,
mengatakan ada sebagian orang yang mengaku-aku sebagai sufi, namun mereka tidak
mengikuti manhaz para arifin dan mereka juga tidak mencapai maqam para urafa.
Lantaran tidak memiliki kapasitas untuk mencerap bahasa para urafa selain itu
pikiran mereka sering dikuasai oleh waham.
Mereka menuding bahwa Dzat
ahadiyah yang dalam tafsir para urafa dilekatkan pada Dzat maqam
Ahadiyah,
gaybul guyub,
gaybul huwiyat sebagai yang
kosong dari manifestasi dan tidak memiliki realitas aktual (
bil fi’l).
Tapi hanya terealisasir dalam sebuah form (
shurah) dan
quwwa
ruhaniyah wa hissi (kualitas ruhaniyah dan fisik). Dan Allah adalah adalah
Zahid Majmu’ (substansi yang terdiri dari beberapa elemen) dan itu adalah
representasi dari insan kabir (kosmos) dan kitab mubin yang kemudian terwadahi
dalam citra insan shagir (manusia).
Tudingan ini merupakan klaim-klaim
kekufuran dan zindiq. Seseorang yang memiliki kecerdasan sedikit saja tidak
akan mengungkapan perkataan kata seperti ini. Dan penisbatan pemahaman seperti
terhadap para sufi agung dalah sebuah pelecehan intelektual , sebab hati dan
pikiran mereka bersih dari keyakinan-keyakinan seperti itu.
Sangatlah
mungkin kalau aktor di balik yang melontarkan tuduhan-tuduhan seperti itu adalah
orang-orang jahil dalam menisbatkan wujud mutlak. Sebab wujud kadang-kadang
mengacu pada wujud mutlak, wujud
syamil atau terhadap konsep-konsep
umum yang abstrak.
Salah satu kitab yang ditulis untuk menyerang kaum
urafa adalah kitab ‘Masra tasawwuf yang ditulis Burhanudduin Baqai (888-809).
Kitab itu mengandug sejumlah kesalahan interpretasi atas ucapan kaum sufi
:
Syaikh Zaynuddin Abdurrahim bin Al-Husain Iraki yang disebut oleh baqai
sebagi
syaikh syuyukh (gurunya para guru); Imam Qurwah; Syaikh Islam,
penjaga zamanya menyampaikan komentarnya tentang Ibnu Arabi ;
“Ini adalah
keyakinan yang menentang Allah dan rasul-Nya dan semua (keyakinan) mayoritas
kaum Muslimin; Mereka adalah yang hanya menjustifikan keyakinan kaum sufi dan
lebih percaya mereka adalah yang paling memiliki makrifat tentang Tuhan. Mereka
mendefiniskan bahwa sufi adalah orang yang meliha tuhan di mana saja dan bahwa
semuanya adalah Tuhan itu sendiri. Tidak diragukan lagi ini adalah sebuah bentuk
kemusyrikan dan lebih buruk dari penyimpangan kaum Nasrani dan Yahudi,
sebabnya orang Yahudi dan Nasrani hanya mempersekutukan tuhan dengan
hamba-hamba yang paling dekat dengan Allah, sementara Ibnu Arabi
mempersekutukan Tuhan dengan kambing, dengan berhala dan bahkan dari kata-kata
mereka dapat ditafsirkan bahwa tuhan adalah anjing dan babi dan bahkan juga
barang-barang yang kotor. Salah seorang ahli ilmu dan ahli tsiqat menukil kepada
saya ia perna melihat komunitas seperti ini di sekitar perbatasan
Iskandariyah. Mereka berkata kepadanya bahwa tuhan adalah segala sesuatu. Ketika
itu seekor keledai melewati tempat tersebut saya bertanya apakah keledai juga
tuhan? Meraka mengiyakan dan lalu kata saya bagaimana dengan kotoran apakah itu
juga tuhan dan ternyata mereka mengiyakan juga.”
Di belahan dunia Barat juga
banyak tuduhan-tuduhan yang negatif terhadap kaum mistikus akibat kesalahan
mereka dalam menyelami konsep wahdatul wujud
Doktor Barens seorang
pendeta dari Birmingham mengatakan, “Menurut saya semua konsep tentang
wahdat
al-wujud harus ditolak. Sebab jika manusia adalah Tuhan manusia, maka semua
kotoran dan najis yang ada di tubuhnya juga adalah Tuhan.
Stace salah
seorang teolog kristen mengatakan bahwa ada tiga hal yang mendorong orang-orang
beragama tidak menyukai konsep
wahdat al-wujud yaitu, Pertama,
Monoteism, sementara
wahdat al-wujud dalam pandangan para ilmuwan Barat
percaya dengan satu yang tidak distingtif (
gairu mutasyakhish). Kedua,
yaitu kritikan atas doktrin ini sebab memandang selain tuhan juga memiliki
sifat-sifat ketuhanan dan konsekuensinya maka syarr (keburukan) juga adalah
tuhan dalam pandangan mereka. Ketiga, dalam setiap jantung agama terselip
perasaaan akan keagungan (
Majesty of) Tuhan dan perasaan ini akan
lenyap dalam pandangan
wahdat al-wujud seperti yang dikatakan oleh Rudolf
Otto tentang rahasia dari keagungan yang mencengkram. Status manusia
sesungguhnya tidak memilik apa-apa. Di sisi Tuhan manusia identik dengan
ketiadaan. Dengan semua kelemahan manusia seperti itu alangkah tidak pantasnya
mengklaim menyatu dengan Tuhannya (
wahdatul wujud). Klaim-klaim kesatuan
tuhan dengan makluk-Nya adalah kekafiran sebab mengasumsikan tidak ada jarak
lagi antara Tuhan, manusia dan semesta.
Dengan demikian, maka tidaklah
menakjubkan kalau komunitas masyarakat teolog dan juga para fukaha (juris)
Islam dan juga dari kalangan agama lain dengan keras menentang teori
wahdat
al-wujud. Dengan jelas bahwa lantaran konsep itu tidak mudah dicerna
selain itu juga pemaparan yang keliru dari para
psudo sufism (sufi
gadungan) yang semakin mengaburkan konsep yang sebenarnya.
Namun,alangkah
baiknya bagi mereka yang memang tidak memiliki pengetahuan yang luas tentang
konsep tersebut, menahan diri untuk tidak mengeluarkan komentar-komentar di
depan publik dan mereka yang tidak bisa menangkap ucapan-ucapan para urafa
sebaiknya juga tidak begitu mudah menyematkan label-label kafir kepada
mereka. Alangkah jujurnya jika menyatakan bahwa mereka seharusnya memilih
diam karena belum bisa memahami dengan jelas kata-kata kaum sufi.
[1]
Ibnu Arabi,
Fushus al-Hikam, hal. 164.
[2]
Ibid, juz 1:272
[3]
Ibid, juz 2:459
[4]
Syaikh Mahmud Syabastari,
Gulistan Râz.
[5]
Muhammad Gazali,
Misykat al-Anwâr :150-152
[6]
Mulla Shadra,
Al-Asfar al-Arba’ah, juz 2: 327.
[7]
Shadru Muta’alihin,
al-Asfar al-Arba’ah, jil. 2 hal 327-330.
[8]
Bertand Rusell,
Ilmu wa Mazhab hal 127
[9].
Bertand Russel,
Ilmu wa Mazhab hal 127 nukilan dari kitab
Falsafah wa
irfan[10].
‘Irfan wa Falsafe, hal. 256, nukilan dari Sayid Yahya Yatsribi,
Falsafeh-ye Irfan, hal. 173