Apa saja
kewajiban suami, berkaitan dengan berbuat baik pada istri dan kewajiban nafkah,
akan diulas secara sederhana dalam tulisan kali ini. Moga dengan mengetahui hal
ini pasutri semakin lekat kecintaannya, tidak penuh ego dan semoga hubungan
mesta tetap langgeng.
Pertama:
Bergaul dengan istri dengan cara yang ma’ruf (baik)
Yang
dimaksud di sini adalah bergaul dengan baik, tidak menyakiti, tidak
menangguhkan hak istri padahal mampu, serta menampakkan wajah manis dan ceria
di hadapan istri.
Allah Ta’ala
berfirman,
وَعَاشِرُوهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ
“Dan
bergaullah dengan mereka dengan baik.” (QS. An Nisa’: 19).
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.”
(QS. Al Baqarah: 228).
Dari
‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُكُمْ
خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى
“Sebaik-baik
kalian adalah yan berbuat baik kepada keluarganya. Sedangkan aku adalah orang
yang paling berbuat baik pada keluargaku” (HR. Tirmidzi no. 3895,
Ibnu Majah no. 1977, Ad Darimi 2: 212, Ibnu Hibban 9: 484. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Ibnu Katsir rahimahullah
berkata mengenai surat An Nisa’ ayat 19 di atas, “Berkatalah yang baik kepada
istri kalian, perbaguslah amalan dan tingkah laku kalian kepada istri. Berbuat
baiklah sebagai engkau suka jika istri kalian bertingkah laku demikian.”
(Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3: 400)
Berbuat
ma’ruf adalah kalimat yang sifatnya umum, tercakup di dalamnya seluruh hak
istri. Nah, setelah ini akan kami utarakan berbagai bentuk berbuat baik
kepada istri. Penjelasan ini diperinci satu demi satu agar lebih diperhatikan
para suami.
Kedua:
Memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal dengan baik
Yang
dimaksud nafkah adalah harta yang dikeluarkan oleh suami untuk istri dan
anak-anaknya berupa makanana, pakaian, tempat tinggal dan hal lainnya. Nafkah
seperti ini adalah kewajiban suami berdasarkan dalil Al Qur’an, hadits,
ijma’ dan logika.
Dalil Al
Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
لِيُنْفِقْ
ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا
آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا
“Hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang
disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa
yang Allah berikan kepadanya” (QS. Ath Tholaq: 7).
وَعَلَى الْمَوْلُودِ
لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma’ruf”
(QS. Al Baqarah: 233).
Ibnu Katsir rahimahullah
berkata, “Bapak dari si anak punya kewajiban dengan cara yang ma’ruf (baik)
memberi nafkah pada ibu si anak, termasuk pula dalam hal pakaian. Yang dimaksud
dengan cara yang ma’ruf adalah dengan memperhatikan kebiasaan masyarakatnya
tanpa bersikap berlebih-lebihan dan tidak pula pelit. Hendaklah ia memberi
nafkah sesuai kemampuannya dan yang mudah untuknya, serta bersikap pertengahan
dan hemat” (Tafsir
Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 375).
Dari Jabir,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika haji
wada’,
فَاتَّقُوا
اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ
وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ
يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ
ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ
ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ
“Bertakwalah
kepada Allah pada (penunaian hak-hak) para wanita,
karena kalian sesungguhnya telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan
kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Kewajiban istri bagi
kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang
kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan
yang tidak menyakiti. Kewajiban kalian bagi istri kalian adalah memberi mereka
nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf” (HR. Muslim no. 1218).
Dari
Mu’awiyah Al Qusyairi radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya pada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengenai kewajiban suami pada istri, lantas Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْ
تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ – أَوِ اكْتَسَبْتَ –
وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ
“Engkau
memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau memberinya pakaian
sebagaimana engkau berpakaian -atau engkau usahakan-, dan engkau tidak memukul
istrimu di wajahnya, dan engkau tidak menjelek-jelekkannya serta tidak
memboikotnya (dalam rangka nasehat) selain di rumah” (HR. Abu Daud no.
2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
Dari Aisyah,
sesungguhnya Hindun binti ‘Utbah berkata kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah
seorang suami yang pelit. Dia tidak memberi untukku dan anak-anakku nafkah yang
mencukupi kecuali jika aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خُذِى مَا
يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah
dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar
sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364).
Lalu berapa
besar nafkah yang menjadi kewajiban suami?
Disebutkan
dalam ayat,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ
عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ
“Hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang
disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya.” (QS. Ath Tholaq: 7).
عَلَى
الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ
“Orang
yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya
(pula)” (QS. Al Baqarah: 236).
Sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada Hindun,
خُذِى مَا
يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah
dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar
sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364).
Dalil-dalil
di atas menunjukkan bahwa yang jadi patokan dalam hal nafkah:
- Mencukupi istri dan anak dengan
baik, ini berbeda tergantung keadaan, tempat dan zaman.
- Dilihat dari kemampuan suami,
apakah ia termasuk orang yang dilapangkan dalam rizki ataukah tidak.
Termasuk
dalam hal nafkah adalah untuk urusan pakaian dan tempat tinggal bagi istri.
Patokannya adalah dua hal yang disebutkan di atas.
Mencari
nafkah bagi suami adalah suatu kewajiban dan jalan meraih pahala. Oleh karena
itu, bersungguh-sungguhlah menunaikan tugas yang mulia ini.
Apa
saja kewajiban suami, berkaitan dengan berbuat baik pada istri dan
kewajiban nafkah, akan diulas secara sederhana dalam tulisan kali ini.
Moga dengan mengetahui hal ini pasutri semakin lekat kecintaannya, tidak
penuh ego dan semoga hubungan mesta tetap langgeng.
Ketiga: Meluangkan waktu untuk bercanda dengan istri tercinta
Inilah yang dicontohkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang diceritakan oleh istri beliau, ‘Aisyahradhiyallahu ‘anha,
أَنَّهَا
كَانَتْ مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ قَالَتْ
فَسَابَقْتُهُ فَسَبَقْتُهُ عَلَى رِجْلَىَّ فَلَمَّا حَمَلْتُ اللَّحْمَ
سَابَقْتُهُ فَسَبَقَنِى فَقَالَ « هَذِهِ بِتِلْكَ السَّبْقَةِ ».
Ia pernah bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safar. ‘Aisyah lantas berlomba lari bersama beliau dan ia mengalahkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala ‘Aisyah sudah bertambah gemuk, ia berlomba lari lagi bersama Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun kala itu ia kalah. Lantas Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini balasan untuk kekalahanku dahulu.” (HR. Abu Daud no. 2578 dan Ahmad 6: 264. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini
shahih). Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam masih menyempatkan diri untuk bermain dan bersenda gurau dengan istrinya tercinta.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
رَأَيْتُ
النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَسْتُرُنِى بِرِدَائِهِ ، وَأَنَا
أَنْظُرُ إِلَى الْحَبَشَةِ يَلْعَبُونَ فِى الْمَسْجِدِ ، حَتَّى أَكُونَ
أَنَا الَّذِى أَسْأَمُ ، فَاقْدُرُوا قَدْرَ الْجَارِيَةِ الْحَدِيثَةِ
السِّنِّ الْحَرِيصَةِ عَلَى اللَّهْوِ
“Aku
melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menutup-nutupi pandanganku
dengan pakaiannya, sementara aku melihat ke arah orang-orang Habasyah
yang sedang bermain di dalam Masjid sampai aku sendirilah yang merasa
puas. Karenanya, sebisa mungkin kalian bisa seperti gadis belia yang
suka bercanda” (HR. Bukhari no. 5236 dan Muslim no. 892). Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bercanda
sambil menutup-nutupi pandangan istrinya yang ingin memandang seorang
pemuda. Lihatlah candaan beliau dan senda gurau kepada istrinya
tercinta! Sebagai suami pernahkah kita seperti itu?
Keempat: Menyempatkan waktu untuk mendengar curhatan istri
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa duduk dan menyimak curhatan dan cerita ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha, sampai pun kisah itu panjang. Di antara cerita ‘Aisyah pada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dikisahkan dalam
hadits yang lumayan panjang berikut ini.
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ جَلَسَ إِحْدَى عَشْرَةَ امْرَأَةً فَتَعَاهَدْنَ
وَتَعَاقَدْنَ أَنْ لاَ يَكْتُمْنَ مِنْ أَخْبَارِ أَزْوَاجِهِنَّ شَيْئًا
Sebelas
orang wanita berkumpul lalu mereka berjanji dan bersepakat untuk tidak
menyembunyikan sedikit pun cerita tentang suami mereka.
قَالَتِ الأُوْلَى زَوْجِي لَحْمُ جَمَلٍ غَثٍّ عَلَى رَأْسِ جَبَلٍ لاَ سَهْلَ فَيُرْتَقَى وَلاَ سَمِيْنَ فَيُنْتَقَلُ
Wanita pertama berkisah,
“Sesungguhnya suamiku adalah daging unta yang kurus yang berada di atas
puncak gunung yang tanahnya berlumpur yang tidak mudah untuk didaki
dan dagingnya juga tidak gemuk untuk diambil.
[Maksud
perkataan di atas: Si wanita memisalkan suaminya dengan daging yang
kurus, sedikit dagingnya. Lalu daging tersebut diletakkan di atas gunung
yang terjal yang sulit didaki. Daging unta berbeda dengan daging domba
atau kambing yang terasa lebih enak. Artinya, si istri ingin menyatakan
sulitnya bergaul dengan suaminya. Ia tidak mengerti bagaimana cara yang
baik untuk berbicara dengan suaminya karena suaminya buruk perangainya.
Sudah dengan usaha keras, si istri ingin berhubungan baik dengan
suaminya, ia tidak bisa meraih dan bersenang-senang dengannya.]
قَالَتْ الثَانِيَةُ زَوْجِي لاَ أَبُثُّ خَبَرَهُ إِنِّي أَخَافُ أَنْ لاَ أَذَرَهُ إِنْ أَذْكُرْهُ أَذْكُرْ عُجَرَهُ وَبُجَرَهُ
Wanita kedua berkisah,
“Mengenai suamiku, aku tidak akan menceritakannya karena jika aku
berkisah tentangnya aku khawatir aku (tidak mampu) meninggalkannya. Jika
aku menyebutkan tentangnya maka aku akan menyebutkan urat-uratnya yang
muncul di tubuhnya dan juga perutnya”.
[Maksud
perkataan di atas: Ia mengisyaratkan bahwa suaminya itu penuh dengan
‘aib. Jika diceritakan, ia khawatir tidak akan ada ujungnya kisah
tentang suaminya karena saking banyaknya ‘aib suaminya. Jika aibnya
disebut maka akan nampak aib luar seperti urat di badan dan dalam
tubuhnya seperti urat di perut. Ada pula yang menafsirkan, jika si istri
menceritakan aib suaminya, maka ia khawatir akan berpisah darinya.
Karena jika sampai ketahuan, suaminya akan menceraikannya dan ia
khawatir karena masih ada anak dan hubungan dengan suaminya.]
قَالَتْ الثَّالِثَةُ زَوْجِي الْعَشَنَّقُ إِنْ أَنْطِقْ أُطَلَّقْ وَإِنْ أَسْكُتْ أُعَلَّقْ
Wanita ketiga berkisah, “Suamiku tinggi, jika aku berucap maka aku akan dicerai, dan jika aku diam maka aku akan tergantung”.
[Maksud
perkataan di atas: Ia memaksudkan suaminya adalah suami yang
berperangai buruk atau ada yang mengatakan bahwa suaminya itu egois
(mementingkan diri sendiri). Ia mengetahui jika ia mengeluh kepada
suaminya maka sang suami langsung menceraikannya. Namun jika ia berdiam
diri maka ia akan tersiksa karena seperti wanita yang tidak bersuami
padahal ia bersuami.]
قَالَتِ الرَّابِعَةُ زَوْجِي كَلَيْلِ تِهَامَةَ لاَ حَرَّ وَلاَ قَرَّ وَلاَ مَخَافَةَ وَلاَ سَآمَةَ
Wanita keempat berkisah, “Suamiku seperti malam di Tihamah, tidak panas dan tidak dingin, tidak ada ketakutan dan tidak ada rasa bosan”.
[Maksud
perkataan di atas: Tihamah adalah suatu daerah yang ma’ruf. Malam di
sana seimbang (tidak panas dan tidak dingin), cuacanya bagus dan
bersahabat. Jadi si wanita menyifati suaminya yang pelembut dan
berperangai baik. Si wanita selalu tentram, tidak penuh kekhawatiran
ketika berada di sisi suaminya. Suaminya tidak ada rasa bosan dengannya.
Istrinya merasakan keadaannya di sisi suaminya seperti keadaan penduduk
Tihamah, suaminya menikmati hubungan dengannya seperti kenikmatan di
Tihamah yang tidak panas dan tidak dingin serta dalam cuaca yang
bersahabat.]
قَالَتِ الْخَامِسَةُ زَوْجِي إِنْ دَخَلَ فَهِدَ وَإِنْ خَرَجَ أَسِدَ وَلاَ يَسْأَلُ عَمَّا عَهِدَ
Wanita kelima berkisah,
“Suamiku jika masuk rumah seperti macan dan jika keluar maka seperti
singa dan tidak bertanya apa yang telah diperbuatnya (yang
didapatinya)”.
[Maksud
perkataan di atas: Cerita si wanita bisa jadi sebuah pujian, bisa jadi
suatu celaan. Apabila yang dimaksud adalah pujian, maka ada beberapa
tafsiran. Tafsiran pertama, suaminya disifatkan seperti macan karena
biasa menundukkan dan menjima’ istrinya. Aritnya, istrinya begitu
disayangi sampai si suami tidak kuat tatkala memandangnya. Jika keluar
dari rumah, ia adalah seorang yang gagah seperti singa. Jika datang, ia
biasa membawa makanan, minuman dan pakaian, jangan ditanya di mana ia
memperolehnya. Tafsiran kedua, masih sebagai pujian. Jika ia memasuki
rumah, seperti macan, yaitu ia tidak pernah mengomentari apa yang
terjadi di rumah, adakah yang cacat, dan tidak banyak komentar. Jika ia
keluar dari rumah, ia begitu perkasa seperti singa. Ia tidak banyak
bertanya apa yang terjadi. Maksudnya adalah si suami begitu bergaul
dengan istri meskipun ia melihat kekurangan yang nampak pada istrinya.
Adapun
jika maksud perkataan si wanita adalah celaan, dapat ditafsirkan ia
mensifati suaminya ketika suaminya masuk ke dalam rumah seperti macan,
yaitu bersikap kasar, tidak ada muqoddimah atau ancang-ancang sebelum
hubungan intim. Juga ia memaksudkan bahwa suaminya memiliki perangai
buruk, sering menyiksa dan memukulnya tanpa bertanya padanya. Jika
suaminya keluar dan istrinya dalam keadaan sakit lalu ia kembali, tidak
ada perhatiannya padanya dan anak-anaknya.]
قَالَتِ
السَّادِسَةُ زَوْجِي إِنْ أَكَلَ لَفَّ وَإِنْ شَرِبَ اشْتَفَّ وَإِنِ
اضْطَجَعَ الْتَفَّ وَلاَ يُوْلِجُ الْكَفَّ لِيَعْلَمَ الْبَثَّ
Wanita keenam berkisah,
“Suamiku jika makan maka banyak menunya dan tidak ada sisanya, jika
minum maka tidak tersisa, jika berbaring maka tidur sendiri sambil
berselimutan, dan tidak mengulurkan tangannya untuk mengetahui kondisiku
yang sedih”.
[Maksud
perkataan di atas: Ia mensifati suaminya yang biasa menyantap makanan
apa saja dan banyak minum. Jika ia tidur, ia sering menjauh dari
istrinya dan tidur sendirian. Ia pun tidak berusaha mengetahui keadaan
istrinya yang sedih. Intinya, ia menyifati suaminya dengan banyak makan
dan minum, serta sedikit jima’ (berhubungan intim). Ini menunjukkan
celaan.]
قَالَتِ
السَّابِعَةُ زَوْجِي غَيَايَاءُ أَوْ عَيَايَاءُ طَبَاقَاءُ كُلُّ دَاءٍ
لَهُ دَاءٌ شَجَّكِ أَوْ فَلَّكِ أَوْ جَمَعَ كُلاًّ لَكِ
Wanita ketujuh berkisah,
“Suamiku bodoh yang tidak pandai berjimak, semua penyakit (aib) dia
miliki, dia melukai kepalamu, melukai badanmu, atau mengumpulkan
seluruhnya untukmu”.
[Maksud
perkataan di atas: Ia menjelaskan bahwa suaminya tidak kuat berhubungan
intim dengan istrinya. Jika ia berbicara, ia biasa menyakiti kepala.
Jika ia berhubungan intim, ia biasa memukul kepala dan melukai jasad.]
قَالَتِ الثَّامِنَةُ زَوْجِي الْمَسُّ مَسُّ أَرْنَبَ وَالرِّيْحُ رِيْحُ زَرْنَبَ
Wanita kedelapan berkisah, “Suamiku sentuhannya seperti sentuhan kelinci dan baunya seperti bau zarnab (tumbuhan yang baunya harum)”.
[Maksud perkataan di atas: Suaminya selalu bersikap lemah lembut dan bersikap baik pada istrinya.]
قَالَتِ التَّاسِعَةُ زَوْجِي رَفِيْعُ الْعِمَادِ طَوِيْلُ النِّجَادِ عَظِيْمُ الرَّمَادِ قَرِيْبُ الْبَيْتِ مِنَ النَادِ
Wanita kesembilan berkisah,
“Suamiku tinggi tiang rumahnya, panjang sarung pedangnya, banyak
abunya, dan rumahnya dekat dengan bangsal (tempat pertemuan)”.
[Maksud
perkataan di atas: Suaminya itu termasuk orang terpandang, banyak tamu
yang mengunjunginya sehingga ia pun biasa menyembelih hewan untuk
menyambut tamunya. Ia pun dianggap mulia oleh keluarganya. Suamiya pun
biasa didatangi oleh orang-orang yang ingin curhat berbagai masalah dan
persoalan mereka. Ia terkenal dengan sifatnya yang mulia, orang yang
terpandangan, berakhlak mulia dan memiliki pergaulan yang baik dengan
sesama]
قَالَتِ
الْعَاشِرَةُ زَوْجِي مَالِكٌ وَمَا مَالِكٌ؟ مَاِلكُ خَيْر مِنْ ذَلِكَ
لَهُ إِبِلٌ كَثِيْرَاتُ الْمَبَارِكِ قَلِيْلاَتُ الْمَسَارِحِ، وَإِذَا
سَمِعْنَ صَوْتَ الْمُزْهِرِ أَيْقَنَّ أَنَهُنَّ هَوَالِكُ
Wanita kesepuluh berkisah,
“Suamiku (namanya) adalah Malik, dan siapakah gerangan si Malik?
Malik adalah lebih baik dari pujian yang disebutkan tentangnya. Ia
memiliki unta yang banyak kandangnya dan sedikit tempat gembalanya, dan
jika unta-unta tersebut mendengar kayu dari tukang jagal maka unta-unta
tersebut yakin bahwa mereka akan disembelih.”
[Maksud
perkataan di atas: Suaminya memiliki banyak unta sebagai persiapan
untuk menyambut tamu. Artinya, suaminya memiliki akhlak mulia, ia sering
memuliakan para tamu dengan pemuliaan yang luar biasa].
قَالَتِ
الْحَادِيَةَ عَشْرَةَ زَوْجِي أَبُوْ زَرْعٍ فَمَا أَبُوْ زَرْعٍ؟
أَنَاسَ مِنْ حُلِيٍّ أُذُنَيَّ وَمَلَأَ مِنْ شَحْمِ عَضُدَيَّ
وَبَجَّحَنِي فَبَجَحْتُ إِلَى نَفْسِي
Wanita kesebelas berkisah,
“Suamiku adalah Abu Zar’. Siapa gerangan Abu Zar’? Dialah yang telah
memberatkan telingaku dengan perhiasan dan telah memenuhi lemak di
lengan atas tanganku dan menyenangkan aku, maka aku pun gembira.”
[Maksud
perkataan di atas: Maksudnya yaitu suaminya Abu Zar’ memberikannya
perhiasan yang banyak dan memperhatikan dirinya serta menjadikan
tubuhnya padat (montok). Karena jika lengan atasnya padat maka tandanya
tubuhnya semuanya padat. Hal ini menjadikannya gembira. Merupakan sifat
suami yang baik adalah menghiasi dan mempercantik istrinya dengan
perhiasan dan memberikan kepada istrinya makanan pilihan. Sesungguhnya
hal ini menjadikan sang istri menjadi sangat mencintai suaminya karena
merasakan perhatian suaminya dan sayangnya suaminya kepadanya. Para
wanita sangat suka kepada perhiasan emas, dan ini merupakan hadiah yang
paling baik yang diberikan kepada wanita. Tubuh yang berisi padat (tidak
kurus dan tidak gemuk) merupakan sifat kecantikan seorang wanita.]
.
وَجَدَنِي فِي أَهْلِ غُنَيْمَةٍ بِشِقٍ فَجَعَلَنِي فِي أَهْلِ صَهِيْلٍ
وَأَطِيْطٍ وَدَائِسٍ وَمَنَقٍ، فَعِنْدَهُ أَقُوْلُ فَلاَ أُقَبَّحُ
وَأَرْقُدُ فَأَتَصَبَّحُ وَأَشْرَبُ فَأَتَقَنَّحُ
Ia
mendapatiku pada peternak kambing-kambing kecil dalam kehidupan yang
sulit, lalu ia pun menjadikan aku di tempat para pemilik kuda dan unta,
penghalus makanan dan suara-suara hewan ternak. Di sisinya aku berbicara
dan aku tidak dijelek-jelekan, aku dibiarkan tidur di pagi hari, aku
minum hingga aku puas dan tidak pingin minum lagi.
[Maksud
perkataan di atas: Maksudnya yaitu Abu Zar’ mendapatinya dari keluarga
yang menggembalakan kambing-kambing kecil yang menunjukan keluarga
tersebut kurang mampu dan menjalani hidup dengan susah payah. Lalu Abu
Zar’ memindahkannya ke kehidupan keluarga yang mewah yang makanan mereka
adalah makanan pilihan yang dihaluskan. Mereka memiliki kuda-kuda dan
onta-onta serta hewan-hewan ternak lainnya. Jika ia berbicara di hadapan
suaminya maka suaminya Abu Zar’ tidak pernah membantahnya dan tidak
pernah menghinakan atau menjelekkannya karena mulianya suaminya tersebut
dan sayangnya pada dirinya. Ia tidur di pagi hari dan tidak dibangunkan
karena sudah ada pembantu yang mengurus urusan rumah. Ia minum hingga
puas sekali dan tidak ingin minum lagi yaitu suaminya telah
memberikannya berbagai macam minuman seperti susu, jus anggur, dan yang
lainnya. Merupakan sifat suami yang baik adalah membantu istrinya
diantaranya dengan mendatangkan pembantu yang bisa membantu tugas-tugas
rumah tangga istrinya.]
. أُمُّ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا أُمُّ أَبِي زَرْعٍ ؟ عُكُوْمُهَا رِدَاحٌ وَبَيْتُهَا فَسَاحٌ
ابْنُ
أَبِي زَرْعٍ، فَمَا ابْنُ أَبِي زَرْعٍ؟ مَضْجَعُهُ كَمَسَلِّ شَطْبَةٍ
وَيُشْبِعُهُ ذِرَاعُ الْجَفْرَةِ بِنْتُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا بِنْتُ أَبِي
زَرْعٍ؟ طُوْعُ أَبِيْهَا وَطُوْعُ أُمِّهَا وَمِلْءُ كِسَائِهَا وَغَيْظُ
جَارَتِهَا جَارِيَةُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا جَارِيَةُ أَبِي زَرْعٍ؟ لاَ
تَبُثُّ حَدِيْثَنَا تَبْثِيْثًا وَلاَ تُنَقِّثُ مِيْرَتَنَا تَنْقِيْثًا
وَلاَ تَمْلَأُ بَيْتَنَا تَعْشِيْشًا
Ibu Abu Zar’. Siapakah gerangan Ibu Abu Zar’?, yang mengumpulkan perabotan rumah, dan memiliki rumah yang luas.
[Maksud
perkataan di atas: Ibu suaminya adalah wanita yang kaya raya yang
memiliki banyak perabot rumah tangga didukung dengan rumahnya yang besar
dan luas. Hal ini menunjukan bahwa sang ibu adalah orang yang sangat
baik yang selalu memuliakan tamu-tamunya. Di antara sifat istri yang
sholehah hendaknya ia menghormati ibu suaminya dan memahami bahwa ibu
suaminyalah yang telah melahirkan suaminya yang telah banyak berbuat
baik kepadanya. Kemudian hendaknya tidak ada permusuhan antara seorang
istri yang sholehah dan ibu suaminya. Dan sesungguhnya tidak perlu
adanya permusuhan karena pada hakekatnya tidak ada motivasi yang
mendorong pada hal itu jika keduanya menyadari bahwa masing-masing
memiliki hak-hak khusus yang berbeda yang harus ditunaikan oleh sang
suami.]
ابْنُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا ابْنُ أَبِي زَرْعٍ؟ مَضْجَعُهُ كَمَسَلِّ شَطْبَةٍ وَيُشْبِعُهُ ذِرَاعُ الْجَفْرَةِ
Putra
Abu Zar’, siapakah gerangan dia? Tempat tidurnya adalah pedang yang
terhunus keluar dari sarungnya, ia sudah kenyang jika memakan lengan
anak kambing betina.
[Maksud
perkataan di atas: Putra suaminya adalah anak yang gagah dan tampan
serta pemberani, tidak gemuk karena sedikit makannya, tidak kaku dan
lembut, namun sering membawa alat perang dan gagah tatkala berperang.]
بِنْتُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا بِنْتُ أَبِي زَرْعٍ؟ طُوْعُ أَبِيْهَا وَطُوْعُ أُمِّهَا وَمِلْءُ كِسَائِهَا وَغَيْظُ جَارَتِهَا
Putri Abu Zar’, siapakah gerangan dia? Taat kepada ayahnya dan ibunya, tubuhnya segar montok, membuat madunya marah kepadanya.
[Maksud
perkataan di atas: Ia adalah seorang putri yang berbakti kepada kedua
orang tuanya sehingga menjadikannya adalah buah hati kedua orangtuanya.
Ia seorang putri yang cantik dan disenangi suaminya hingga menjadikan
istri suaminya yang lain cemburu dan marah kepadanya karena
kecantikannya tersebut.]
جَارِيَةُ
أَبِي زَرْعٍ، فَمَا جَارِيَةُ أَبِي زَرْعٍ؟ لاَ تَبُثُّ حَدِيْثَنَا
تَبْثِيْثًا وَلاَ تُنَقِّثُ مِيْرَتَنَا تَنْقِيْثًا وَلاَ تَمْلَأُ
بَيْتَنَا تَعْشِيْشًا
Budak
wanita Abu Zar’, siapakah gerangan dia? Ia menyembunyikan
rahasia-rahasia kami dan tidak menyebarkannya, tidak merusak makanan
yang kami datangkan dan tidak membawa lari makanan tersebut, serta tidak
mengumpulkan kotoran di rumah kami.
[Maksud
perkataan di atas: Budak wanita tersebut adalah orang yang terpercaya
bisa menjaga rahasia dan amanah. Seluruh kejadian atau pembicaraan yang
terjadi di dalam rumah tidak tersebar keluar rumah. Ia sangat jauh dari
sifat khianat dan sifat mencuri. Dia juga pandai menjaga diri sehingga
jauh dari tuduhan tuduhan sehingga ia tidak membawa kotoran
(tuduhan-tuduhan jelek) dalam rumah kami.]
قَالَتْ
خَرَجَ أَبُو زَرْعٍ وَالأَوْطَابُ تُمَخَّضُ فَلَقِيَ امْرَأَةً مَعَهَا
وَلَدَانِ لَهَا كَالْفَهْدَيْنِ يَلْعَبَانِ مِنْ تَحْتِ خِصْرِهَا
بِرُمَّانَتَيْنِ فَطَلَّقَنِي وَنَكَحَهَا
Keluarlah
Abu Zar’ pada saat tempat-tempat dituangkannya susu sedang
digoyang-goyang agar keluar sari susunya, maka ia pun bertemu dengan
seorang wanita bersama dua orang anaknya seperti dua ekor macan. Mereka
berdua sedang bermain di dekatnya dengan dua buah delima. Maka iapun
lalu menceraikanku dan menikahi wanita tersebut.
[Maksud
perkataan di atas: Abu Zar’ suatu saat keluar di pagi hari pada waktu
para pembantu dan para budak sedang sibuk bekerja dan diantara mereka
ada yang sedang menggoyang-goyangkan (mengocok-ngocok) susu agar keluar
sari susu tersebut. Kemudian ia bertemu dengan seorang wanita yang
memiliki dua orang anak yang menunjukan bahwa wanita tersebut adalah
wanita yang subur. Hal ini merupakan sebab tertariknya Abu Zar’ untuk
menikahi wanita tersebut, karena orang Arab senang dengan wanita yang
subur untuk memperbanyak keturunan. Dan sang wanita memiliki dua anak
yang masih kecil-kecil yang menunjukan bahwa wanita tersebut masih muda
belia. Akhirnya Abu Zar’pun menikahi wanita tersebut dan mencerai Ummu
Zar’]
فَنَكَحْتُ
بَعْدَهُ رَجُلاً سَرِيًا رَكِبَ شَرِيًّا وَأَخَذَ خَطِّيًّا وَأَرَاحَ
عَلَيَّ نَعَمًا ثَرِيًا وَأَعْطَانِي مِنْ كُلِّ رَائِحَةٍ زَوْجًا
وَقَالَ كُلِي أُمَّ زَرْعٍ وَمِيْرِي أَهْلَكِ قَالَتْ فَلَوْ جَمَعْتُ
كُلَّ شَيْءٍ أَعْطَانِيْهِ مَا بَلَغَ أَصْغَرَ آنِيَةِ أَبِي زَرْعٍ
Setelah
itu aku pun menikahi seoerang pria yang terkemuka yang menunggang kuda
pilihan balap. Ia mengambil tombak khotthi lalu membawa tombak
tersebut untuk berperang dan membawa ghonimah berupa onta yang banyak
sekali. Ia memberiku sepasang hewan dari hewan-hewan yang disembelih dan
berkata, “Makanlah wahai Ummu Zar’ dan berkunjunglah ke keluargamu dengan membawa makanan”. Kalau seandainya aku mengumpulkan semua yang diberikan olehnya maka tidak akan mencapai belanga terkecil Abu Zar’.
[Maksud
perkataan di atas: Ummu Zar’ setelah itu menikahi seorang pria yang
gagah perkasa yang sangat baik kepadanya hingga memberikannya makanan
yang banyak, demikian juga pemberian-pemberian yang lain, bahkan ia
memerintahkannya untuk membawa pemberian-pemberian tersebut kepada
keluarga Ummu Zar’. Namun meskipun demikian Ummu Zar’ kurang merasa bahagia dan selalu ingat kepada Abu Zar’.
Yang
membedakan antara Abu Zar’ dan suaminya yang kedua adalah Abu Zar’
selalu berusaha mengambil hati istrinya, ia tidak hanya memenuhi
kebutuhan istrinya akan tetapi kelembutannya dan kasih sayangnyalah yang
telah memikat hati istrtinya. Ditambah lagi Abu Zar’ adalah suami
pertama dari sang
wanita.]
قَالَتْ عَائِشَةُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم كُنْتُ لَكِ كَأِبي زَرْعٍ لِأُمِّ زَرْعٍ
‘Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Aku bagimu seperti Abu Zar’ bagi Ummu Zar’.
Dalam riwayat lain Aisyah berkata
يَا رَسُوْلَ اللهِ بَلْ أَنْتَ خَيْرٌ إِلَيَّ مِنْ أَبِي زَرْعٍ
“Wahai Rasulullah, bahkan engkau lebih baik kepadaku dari pada Abu Zar’” (HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubro 5: 358, no. 9139)
Kisah
yang panjang di atas menunjukkan tipe-tipe suami, ada yang berakhlak
mulia yang patut kita tiru dan ada yang perangangainya buruk yang harus
kita jauhi.
Kisah ini juga menunjukan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
orang yang selalu sayang dan perhatian kepada Aisyah. Berbeda dengan
sebagian suami yang kasih sayangnya kepada istrinya hanya pada
waktu-waktu tertentu saja, dan pada waktu-waktu yang lain tidak
demikian. Kisah ini juga mengandung pelajaran bahwa sebaiknya suami
berusaha untuk memperhatikan dan menyimak curhatan istrinya, meskipun
agak lama seperti dalam kisah ini.
Demikian
ulasan kita pada hari ini. Masih ada beberapa kewajiban suami yang
belum penulis ulas. Moga bisa diteruskan dalam kesempatan yang lain.
Semoga Allah memudahkan kita menjadi suami idaman, penuh kelembutan, penuh kasih sayang dan amat perhatian pada istri. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.