Sunday 10 November 2013

Mengenal Sifat-sifat Tuhan


________________________________________
Mukadimah
Berbagai argumen telah kami sajikan di hadapan Anda untuk membuktikan wujud Tuhan Pencipta manusia dan semesta buana ini. Konklusi global dan mendasar yang dapat kita ambil dari beberapa uraian dan penjelasan sebelumnya ialah bahwa alam semesta ini tidak terjadi dan terwujud dengan sendirinya. Tetapi ia memiliki pencipta yang telah mewujudkannya. Dialah Tuhan Pencipta Yang Mahakuasa dan sempurna ilmu-Nya. Apakah hanya sekedar mengenal dan meyakini adanya Tuhan Pencipta, persoalan ketuhanan ini dapat dianggap selesai? Dengan kata lain, masih perlukah kita mengenal berbagai atribut dan sifat-sifat Tuhan Pencipta tersebut? Jika ya, lalu apa manfaatnya pengetahuan lebih lanjut tentangnya? Jawabnya adalah bahwa sekedar mengenal, mengetahui dan bahkan meyakini adanya Tuhan Pencipta bagi semesta buana ini, tidak dianggap memadai. Karena hal itu tidak akan membuahkan nilai-nilai positif dalam kehidupan, baik kehidupan dalam skala personal maupun sosial, dunia dan akhirat. Karenanya, diperlukan pembahasan lebih lanjut mengenai sifat-sifat Tuhan Pencipta tersebut secara logis dan filosofis, agar tujuan hidup (meraih kebahagiaan hakiki dan sejati) dapat terealisasi.

Terlebih, tanpa mengenal sifat-sifat-Nya, bisa jadi seseorang memiliki keyakinan tentang adanya Tuhan Pencipta, sementara gambaran dan pemahamannya terhadap Tuhan Pencipta tersebut masih kabur. Karenanya, tidak sedikit orang-orang yang menganggap benda tertentu atau energi tertentu sebagai Tuhan Pencipta mereka dan semesta ini.

Pada pembahasan terdahulu, kami telah jelaskan kepada Anda bahwa sebagian besar argumen filosofis itu hanya digunakan untuk membuktikan dan menetapkan keberadaan wâjib al-wujud (wujud Tuhan yang niscaya). Sementara untuk menetapkan sifat-sifat-Nya, baik yang berupa tsubutiyah (penetapan sifat-sifat kesempurnaan bagi-Nya), maupun yang berupa salbiyah (penafian sifat-sifat negatif dari-Nya) masih diperlukan argumen lain sebagai tambahan. Dengan ditetapkannya sifat-sifat tsubutiyah, akan menjadi jelas bahwa hanya Dia-lah yang layak disembah dan diibadati. Di samping itu, peluang untuk menetapkan keyakinan-keyakinan yang lainnya, seperti masalah utusan-Nya, hari kiamat dan lain sebagainya, menjadi terbuka lebar. Sementara penetapan sifat-sifat salbiyah atau penafian segala sifat-sifat yang tidak layak dari-Nya, dimaksudkan agar Tuhan Pencipta yang merupakan wâjib al-wujud itu tersucikan dari berbagai sifat-sifat yang disandang oleh makhluk-makhluk-Nya. Tanpa mengkaji dan memahami sifat-sifat salbiyah ini, seseorang akan terjerumus kepada tasybih (anthropomorphize), yaitu menyerupakan-Nya dengan makhluk ciptaan-Nya.

Pada penjelasan yang lalu -dengan berbagai argumen logis dan filosofis- dapat kita simpulkan bahwa Tuhan Pencipta itu tidak membutuhkan sebab selain-Nya dalam wujud-Nya, karena Dia merupakan wujud mandiri. Dan Dia-lah sebagai sebab dan illat bagi semua realitas yang bersifat mungkin. Dengan demikian -sebenarnya- ada dua sifat yang telah ditetapkan bagi-Nya di dalam uraian tersebut. Dua sifat tersebut ialah:

Pertama, bahwa wâjib al-wujud tidak butuh kepada selain-Nya, karena jika Dia butuh kepada wujud yang lain sekecil apa pun, maka wujud yang lain itu merupakan sebab bagi-Nya. Sementara telah kita ketahui bahwa hal itu mustahil terjadi bagi Tuhan Pencipta, karena akan terjadi tasalsul yang dinilai absurd.

Kedua, bahwa semua wujud yang bersifat mungkin adalah akibat yang membutuhkan sebab. Sementara tidak ada sebab dan illat lain selain Tuhan Pencipta sebagai wâjib al-wujud yang merupakan sebab dan illat utama bagi kemunculan dan keberadaan wujud-wujud mungkin tersebut.

Pada pembahasan kita kali ini, berdasarkan dua kesimpulan di atas, kami akan membahas konsekuensi masing-masing yang berhubungan dengan kedua sifat tersebut. Sehubungan dengan penetapan sifat-sifat tsubutiyah dan salbiyah, kami akan menjelasakan argumen-argumen yang sederhana dan sesuai dengan pembahasan-pembahasan yang telah lalu, agar dapat dipahami dengan mudah.

Tuhan Bersifat Azali dan Abadi
Penjelasan mengenai wujud mungkin atau mumkin al-wujud telah kita lewati pada pembahasan yang lalu. Ciri-ciri wujud mungkin adalah bahwa ia tidak wujud (eksis) secara mandiri, tetapi ia merupakan realitas akibat yang keberadaannya membutuhkan kepada realitas lainnya. Dengan demikian, ia berarti bergantung kepada wujud selainnya, karena ia pernah mengalami ketiadaan pada masa tertentu. Ketiadaan dan kesirnaannya pada masa tertentu itu menunjukkan bahwa dia butuh kepada selainnya, yaitu butuh kepada yang mengadakannya, Dialah wujud wâjib atau wâjib al-wujud. Mengingat bahwa wâjib al-wujud itu ada dengan sendirinya dan tidak membutuhkan kepada yang selainnya, maka berarti Dia bersifat abadi dan azali. Abadi artinya wujud-Nya tidak berakhir dan tidak diakhiri atau dibatasi oleh sesuatu. Azali artinya bahwa wujud-Nya tidak bermula atau tidak didahului oleh ketiadaan pada masa tertentu.

Dari uraian di atas, kita dapat menetapkan dua sifat pada wâjib al-wujud. Pertama, bahwa wâjib al-wujud itu bersifat azali, yakni Dia tidak didahului oleh ketiadaan. Kedua, Dia adalah abadi, yakni tidak akan tersentuh oleh ketiadaan selama-lamanya. Kedua sifat ini dapat juga disebut dengan sifat sarmadi.

Berdasarkan penjelasan ini, setiap sesuatu yang didahului oleh ketiadaan, atau ada kemungkinan menjadi sirna -walaupun hanya sekejap-, maka ia bukanlah wâjib al-wujud. Dari penjelasan ini menjadi jelas bahwa materi, sekuat apapun, tidak mungkin dan mustahil sebagai wâjib al-wujud atau wujud yang niscaya.

Sifat-sifat Positif dan Negatif
Sifat-sifat tsubutiyah atau positif ialah segala sifat kesempurnaan, seperti mahakuasa, mahatahu, mendengar, melihat dan lain sebagainya. Bila dikatakan bahwa Tuhan Pencipta itu mesti menyandang sifat-sifat tsubutiyah, artinya bahwa Dia memiliki berbagai sifat-sifat kesempurnaan yang tidak terbatas, berbeda dengan sifat-sifat kesempurnaan yang ada pada makhluk-Nya. Sifat-sifat kesempurnaan yang terdapat pada manusia itu terbatas dan bersumber dari-Nya. Lawan dari sifat-sifat tsubutiyah ialah sifat-sifat salbiyah (sifat-sifat negatif). Tuhan Pencipta Mahasuci dari sifat-sifat negatif ini, seperti tidak kuasa, tidak pandai, terangkap dan tersusun dan lain sebagainya. Tuhan Pencipta bersifat kuasa, esa dan basâthah (sederhana), artinya Dia tidak tersusun atau terangkap, karena Dia mandiri dan tidak butuh kepada selain-Nya. Sementara makhluk-makhluk-Nya, manusia misalnya, tersusun dari jasmani dan ruhani. Jasmaninya tersusun dan terangkap dari bermacam-macam anggota. Dan setiap yang tersusun dan terangkap pasti membutuhkan kepada yang lainnya yang merupakan sebab baginya.

Apabila kita berasumsi bahwa Tuhan Pencipta itu tersusun, tetapi bagian-bagiannya tidak ada secara fi'li (aktual), artinya belum terwujud saat sekarang ini dan akan muncul kemudian (bil quwwah/potensial), maka asumsi semacam ini batil. Karena sesuatu yang mempunyai bagian-bagian secara bil quwwah atau yang akan muncul kemudian, secara rasional pasti akan dapat dibagi. Walaupun secara fi'li (aktual=pada saat sekarang), bagian-bagiannya itu belum terealisasi dan belum terwujud. Dan adanya asumsi bahwa Tuhan Pencipta itu dapat dibagi, hal ini memestikan bahwa secara keseluruhan Dia bisa sirna. Misalnya seperti garis yang panjangnya satu meter. Apabila garis itu dibagi dua, yakni menjadi dua kali setengah meter, maka garis yang panjangnya satu meter tersebut telah sirna dan tidak ada lagi. Sementara telah kita pahami dari pembahasan yang telah lalu, bahwa Tuah Pencipta (wâjib al-wujud) tidak mungkin mengalami kefanaan ...(transient) dan kesirnaan, walaupun hanya sekejap saja.

Selain itu, perlu diperhatikan bahwa di antara karakter benda dan materi itu dapat disusun dan dirangkap, baik secara bil fi’li (aktual) maupun secara bil quwah (potensial). Sementara non-materi tidaklah demikian. Hal ini dapat ditangkap secara logis, sehingga tidak memerlukan kepada pemikiran filosofis yang dalam atau analisa dan penelitian. Dengan kata lain, bahwa setiap materi itu terangkap, dan setiap yang terangkap mustahil sebagai wâjib al-wujud dan Tuhan Pencipta. Berdasarkan hal di atas, kita dapat pula menetapkan kenon-materian Tuhan. Menjadi Jelas pula, bahwa Tuhan tidak mungkin dapat dilihat dengan mata kepala dan tidak mungkin dapat dijangkau dengan indera apapun, karena setiap yang dapat dilihat dan dijangkau oleh indera merupakan sifat-sifat khas benda dan materi. Sementara telah kita buktikan bahwa Tuhan itu non-materi.

Sampai di sini, kita telah dapat menetapkan sifat salbiyah lainnya bagi Tuhan Pencipta, yaitu ternafikannya ciri dan karakter materi dari zat-Nya. Dengan ternafikannya sifat materi tersebut, maka akan ternafikan pula semua sifat-sifat yang disandang oleh benda dan materi dari-Nya, seperti butuh kepada tempat dan masa. Karena ketika kita menggambarkan sebuah tempat, maka akan tergambar sesuatu yang memiliki bentuk dan panjang yang menempati tempat tersebut. Dengan demikian, mustahil bagi Tuhan Pencipta membutuhkan tempat. Demikian pula dengan masa. Setiap sesuatu yang bermasa dan tidak lepas dari zaman, pasti dapat dibagi kepada ekstensi masa dan durasinya. Oleh karena itu, hanya materi sajalah yang bermasa atau membutuhkan masa. Dengan penjelasan ini, dapat pula ditetapkan bahwa wâjib al-wujud tidak butuh kepada masa dalam wujud-Nya. Dan setiap yang membutuhkan tempat dan masa pasti bukan wâjib al-wujud.

Dengan demikian, kita sama sekali tidak mungkin dapat menggambarkan Tuhan Pencipta itu sebagai dzat yang butuh kepada tempat dan masa. Begitu pula, segala sesuatu yang membutuhkan tempat dan masa bukanlah wâjib al-wujud. Kemudian dengan ternafikannya waktu atau masa dari wâjib al-wujud, maka akan ternafikan pula adanya gerak, perubahan dan penyempurnaan dzat dari-Nya. Karena, setiap gerak atau perubahan apapun tidak mungkin terwujud tanpa masa. Oleh karena itu, orang-orang yang meyakini bahwa Tuhan Pencipta itu berada pada satu tempat seperti 'arsy atau menisbahkan gerak kepada-Nya, seperti Dia turun dari langit, atau meyakini bahwa Tuhan itu dapat dilihat dengan mata, atau dapat berubah dan meningkat, maka sebenarnya mereka tidak dan belum mengenal Tuhan dengan sebenarnya. Atau Tuhan yang mereka kenal itu adalah bukan Tuhan yang sebenarnya, melainkan Tuhan buatan, gambaran dan khayalan mereka sendiri. Secara global, bahwa setiap arti, gambaran dan konsep atau pemikiran yang menunjukkan kekurangan, keterbatasan dan kebutuhan pada dzat Tuhan, maka hal itu semua ternafikan dari dzat-Nya Yang Mahasuci. Inilah yang dimaksud dengan sifat salbiyah Ilahiyah (sifat-sifat negatif bagi Tuhan).

Sebab Pengada
Kesimpulan kedua yang dapat kita ambil dari argumen yang terdahulu ialah: bahwa wâjib al-wujud merupakan sebab dan illat (cause) bagi keberadaan makhluk-makhluk-Nya. Berikut ini kami akan membahas konsekuensi dari kesimpulan tersebut. Pertama-tama, kami akan menjelaskan macam-macam sebab, kemudian menyelidiki keistimewaan-keistimewaan Sebab Ilahi.

Sebab atau illat -secara umum- adalah setiap realitas dimana realitas lain terwujud dan bergantung kepadanya. Dan sesuatu yang bergantung dan terwujud darinya itu disebut akibat atau ma’lul. Sebab atau illat mencakupi juga syarat-syarat dan sebab penyiap (‘illat muiddah, preparing causes). Telah kita buktikan bahwa Tuhan Pencipta bersifat mandiri, sehingga tidak butuh kepada sebab apapun. Tidak adanya sebab bagi Tuhan, artinya bahwa Dia tidak mempunyai ketergantungan dengan realitas yang lain sekecil apapun. Oleh karena itu, tidak mungkin kita menyatakan bahwa Tuhan Pencipta mempunyai syarat dan pengada bagi wujud dan keberadaan-Nya.

Telah dijelaskan di atas bahwa Tuhan sebagai sebab dan illat utama bagi selain-Nya. Artinya bahwa Dia sebagai pencipta dan pengada seluruh makhluk-Nya. Dan hal itu merupakan makna khusus dari 'illah fâiliyah (sebab pelaku, efficient cause). Untuk menjelaskan poin ini, terlebih dahulu kita harus mengetahui secara global akan macam-macam sebab. Penjelasan yang lebih luas mengenai hal ini bisa dirujuk ke kitab-kitab Filsafat.

Telah kita ketahui, bahwa secara pasti munculnya tumbuh-tumbuhan di atas bumi ini disebabkan oleh adanya bibit-bibit, tanah yang subur, air dan udara. Di samping itu, harus pula terpenuhi faktor-faktor lainnya, seperti faktor alami atau insani yang menebarkan bibit-bibit tersebut di atas tanah dan mengalirkan air ke atasnya. Berdasarkan definisi sebab atau illat yang telah kami jelaskan, semua faktor-faktor ini merupakan sebab munculnya tumbuh-tumbuhan tersebut.

Dari aspek-aspek tertentu, sebab-sebab tersebut dapat diklasifikasikan kepada beberapa macam. Misalnya, sebab-sebab yang keberadaannya senantiasa bersifat dharuri (mesti) bagi terwujudnya akibat, hal itu dinamakan sebagai sebab hakiki (real cause). Sekelompok sebab yang kesinambungannya tidak diperlukan untuk kesinambungan wujud akibat, seperti petani -sehubungan dengan tanaman yang ditanamnya- dinamakan sebagai sebab penyiap (preparing causes). Ada pula sebab-sebab yang posisinya dapat digantikan oleh sebab-sebab selainnya, hal itu dinamakan sebagai sebab alternatif (illah badilah). Sedangkan sebab-sebab yang posisi dan pengaruhnya tidak mungkin digantikan oleh selainnya, maka ia dinamakan sebagai sebab eksklusif (‘illah munhasirah).

Terdapat satu macam sebab lain yang berbeda dengan sebab-sebab yang disebutkan pada realitas tumbuh-tumbuhan di atas. Sehubungan dengan sebab ini, kita dapat menemukan contohnya pada jiwa manusia dan sebagian keadaan dan kondisi kejiwaannya. Ketika seseorang menciptakan suatu bayangan atau gambaran di dalam benaknya, atau bertekad mengerjakan suatu tindakan, maka akan terjadilah di dalam dirinya suatu fenomena kejiwaan yang dinamakan dengan gambaran mental (shurah zihniyah), atau kehendak yang keberadaannya merupakan akibat dan bergantung kepada keberadaan jiwa (nafs). Jelas, akibat semacam ini tidak memiliki kemandirian sedikit pun dari sebabnya, dan tidak mungkin berpisah dan mandiri dari wujud sebabnya.

Tetapi pada saat yang sama, kita perhatikan bahwa “penciptaan jiwa” (fâ'iliyah nafs) atas gambaran di mental atau atas kehendak, hal itu memerlukan syarat-syarat tertentu yang muncul lantaran kekurangan, keterbatasan dan kemungkinan (imkan) wujud yang merupakan sifat-sifat substansial jiwa.

Oleh karena itu, penciptaan wâjib al-wujud atas alam raya ini, jauh lebih hebat dan lebih sempurna dibandingkan dengan penciptaan jiwa atas keadaan dan pengalaman-pengalaman dirinya. Kita tidak akan mendapatkan padanan ciptaan Tuhan atas seluruh ciptaan. Karena ciptaan Tuhan sama sekali tidak butuh kepada apapun untuk mengadakan akibat-Nya, yaitu akibat yang sekujur wujudnya hanyalah ketergantungan mutlak kepada-Nya.

Keistimewaan Sebab Pengada
Berdasarkan penjelasan di atas, kami dapat menyebutkan sifat-sifat khas yang penting yang dimiliki oleh Sebab Pengada (creative cause, illah mujidah).

Pertama, Sebab pengada memiliki seluruh kesempurnaan -yang dimiliki oleh akibatnya- secara lebih sempurna, sehingga ia bisa memberikan kesempurnaan kepada setiap akibat sesuai dengan kapasitas wujudnya masing-masing. Berbeda halnya dengan sebab penyiap dan sebab materi yang berlaku sebagai pengadaan lahan yang sesuai untuk perubahan pada wujud akibat, bukan untuk wujudnya itu sendiri. Oleh karena itu, sebab penyiap dan sebab materi tidak mesti mencakupi kesempurnaan-kesempurnaan yang terdapat pada akibatnya.

Misalnya, tersedianya tanah itu tidak perlu kepada kesempurnaan yang dimiliki oleh tumbuh-tumbuhan, atau keberadaan kedua orang tua tidak butuh kepada kesempurnaan anak-anaknya. Adapun Tuhan sebagai sebab pengada (creative cause, illah mujidah), mesti memiliki semua kesempurnaan-kesempurnaan wujud segala sesuatu, di samping sifat basatah-Nya (ketaktersusunan). Dengan kata lain bahwa segala kesempurnaan yang ada pada ciptaan Tuhan, pasti dimiliki oleh Tuhan sebagai penciptanya. Bahkan kesempurnaan yang ada pada Tuhan itu jauh lebih tinggi dan tidak bisa digambarkan atau dipadankan dengan segala kesempurnaan yang dimiliki makhluk-Nya.

Kedua, Sebab pengada itu mewujudkan akibatnya dari ketiadaan. Yakni, dia dapat menciptakan akibatnya. Tetapi, penciptaannya itu tidak mengurangi wujudnya sedikit-pun. Berbeda halnya dengan sebab alami (fa'il tabi'i) yang aktif, yaitu mengubah akibat yang ada dengan mengerahkan seluruh potensi. Apabila diasumsikan ada sesuatu yang terpisah dari dzat wâjib al-wujud, ini berarti bahwa dzat Tuhan dapat dibagi dan berubah. Padahal, ini telah jelas kemustahilannya.

Ketiga, Sebab pengada merupakan sebab sejati (real cause, 'illat hakikiyah). Oleh sebab itu, keberadaannya merupakan dharuri (niscaya) untuk kesinambungan wujud akibatnya. Berbeda dengan sebab penyiap; kesinambungan akibatnya tidak lagi butuh kepadanya.

Sehubungan dengan penjelasan tersebut, maka apa yang telah disampaikan oleh sebagian teolog bahwa kekekalan semesta tidak butuh kepada Tuhan, begitu juga apa yang dikatakan oleh sebagian filosof Barat, bahwa alam materi ini laksana jam yang telah diatur dan diukur putaran waktunya, lalu secara otomatis bergerak dengan sendirinya, sehingga alam semesta ini tidak butuh lagi kepada Tuhan Pencipta dalam melanjutkan berbagai aktifitasnya, maka pandangan-pandangan seperti ini jauh dari kebenaran. Karena alam wujud ini selalu butuh dan bergantung kepada Tuhan dalam segala keadaannya. Apabila Tuhan Pencipta itu menghentikan anugerah-Nya, walaupun hanya sekejap saja, maka akibatnya tidak akan ada lagi yang tersisa dari alam tersebut.(al Mubalaghah)

Smoga ALLAH bagi kefahaman buat kita smua.. adapun ilmu mengenal ALLAH ini adalah ilmu yang wajib di pelajari keatas setiap individu Islam, yakni fadhu ain.